Wednesday, November 14, 2007

Mbok Meriyam ~ Tentang Cinta

Saya menikah 50 tahun yang lalu di desa asal saya di pinggir pantai selatan. Sebelum menikah saya tidak mengenal secara pribadi calon suami saya, walaupun saya tahu banyak tentang dia dari orang-orang sekitar saya. Saya menikah tidak berdasar cinta, tetapi karena alasan praktis bahwa saya harus membangun keluarga untuk dapat hidup normal di masyarakat. Juga untuk melanjutkan keturunan.

Cinta? Waktu itu saya tidak begitu mengenal cinta dan menurut saya yang saya butuhkan adalah suami yang bisa memberi nafkah, sopan, memperlakukan saya dengan layak, mampu berhubungan baik dengan keluarga saya dan tentu saja ngawula pada Gusti Allah. Kebetulan suami saya cukup tampan untuk ukuran desa saya. Namun itu tidak terlalu penting buat saya. Wajah tidak penting buat saya. Cinta tidak penting untuk saya. Kehidupan yang wajar dan tentram lebih penting buat saya.

Sewaktu muda saya cantik. Bukan hanya menurut ukuran desa saya tetapi juga menurut ukuran masyarakat yang tinggal di desa-desa yang lebih besar. Bahkan untuk yang tinggal di kota kecamatan. Ibu saya masih punya darah bangsawan walaupun hanya bangsawan paling rendahan. Bapak saya adalah keturunan pedagang arab yang sudah berubah menjadi petani jagung di desa. Seperti yang kau lihat, tubuh saya tinggi, lebih tinggi dari kebanyakan lelaki di desa saya. Namun jaman itu kecantikan hanyalah atribut biasa pada perempuan, seperti halnya pintar memasak, pintar menjahit atau pintar bertani.

^_^

Pertamanya masing-masing kami punya sahabat sendiri-sendiri untuk berbagi. Saya dengan teman-teman perempuan saya semasa gadis, dan dia dengan para tetangga. Hubungan kami sangat datar. Tidak ada romantis-romantisan. Saya tidak berharap banyak darinya. Saya tidak mengharapkan dia menjadi sahabat, kekasih atau seorang yang selalu siap mendengarkan saya. Dia juga tidak berharap saya selalu mengerti keinginannya atau selalu siap mendorong semangatnya saat dia terpuruk.

Waktu itu kami menganggap ketergantungan emosi pada pasangan adalah perilaku yang kekanak-kanakkan. Sebagai orang dewasa kami menganggap diri kami sudah seharusnya tidak cengeng saat didera masalah dan belajar mengatasi masalah emosi secara mandiri.

Secara tidak sadar perlahan-lahan kami juga mulai mengurangi ketergantungan emosi pada teman-teman kami. Pada awalnya sangat berat karena saya biasa berkeluh kesah pada teman-teman sebagai pengganti ibu saya. Tapi semakin lama saya semakin terbiasa membuang keinginan berkeluh kesah. Apalagi setelah kami pindah ke desa lain yang jauh dari tempat asal kami. Saya menjadi jarang berkeluh kesah. Saya menyalurkan kesedihan saya dengan larut dalam pekerjaan rumah tangga, menjahit baju buat suami maupun bapak ibu saya, membuat emping atau dengan berjualan panganan di pasar setiap pekan.

Sepertinya suami saya juga belajar untuk tidak terlalu bergantung pada tetangga-tetangga baru kami untuk menceritakan masalah-masalahnya. Dia menyalurkan kesedihannya dengan pergi ke kota menjadi tukang batu. Obrolan antara kami lebih banyak tentang masalah anak-anak, keuangan keluarga, perbaikan rumah dan juga tentang peristiwa-peristiwa di kampung kami. Jarang kami bicara tentang hal pribadi, tentang perasaan-perasaan kami, apalagi tentang cinta.

^_^

Namun tahun-tahun belakangan terjadi perubahan menarik pada diri kami. Mungkin karena anak-anak sudah berumahtangga, pindah rumah dan cucu-cucu yang dahulu sering main ke rumah sekarang sudah pada dewasa serta pindah ke kota. Kami punya banyak waktu untuk mengobrol tentang hal-hal pribadi. Kami mulai bicara tentang perasaan-perasaan kami. Tentang hal-hal yang saya sukai dari dirinya dan juga dengan hati-hati saya bicara tentang hal-hal yang tidak saya sukai. Dia juga mulai belajar mengungkapkan perasaan-perasaannya.

Kadangkala kami terbuka tentang hal-hal kecil yang membuat kami tertawa geli. Setelah sekian puluh tahun saya baru tahu dia tidak suka saya panggil “Pakne” dan ingin dipanggil “Mas”. Dia juga baru tahu bahwa saya tidak suka melihatnya pakai singlet saat di rumah. Saya ingin dia berpakaian yang pantas untuk dilihat oleh istrinya. Dia juga mulai memanggil saya “Cah ayu”, seperti yang dilakukannya sewaktu kami masih baru menikah (sambil tersenyum malu).

Saya tidak tahu apakah ini yang disebut cinta yang tumbuh lagi antara kami berdua. Yang jelas kami mulai saling memperhatikan dan saya merasa dia semakin menyayangi saya. Saya juga tambah senang saat didekatnya. Sekarang dia sering mengajak saya keliling-keliling kampung naik sepeda untuk menengok teman-temannya atau melihat ladang kami di luar kampung yang kini digarap oleh para tetangga. Kami lebih dekat dan rasanya lebih saling memahami. Tak banyak lagi perasaan yang kami pendam, hampir semuanya kami ungkapkan. Dan itu membuat kami lebih berhati-hati memperlakukan satu sama lain.

Tapi jangan salah sangka. Saya tidak berubah menjadi tergantung pada suami saya secara emosi. Saya tetap kuat mengatasi masalah-masalah saya tanpa harus berkeluh kesah padanya. Apalagi suami saya. Dia sangat stabil emosinya. Suami saya sama sekali tidak memiliki ketergantungan emosi pada saya. Dia mampu mengatasi masalahnya tanpa harus berkeluh kesah.

Kami sama-sama orang tua yang telah mandiri secara emosi. Alasan kami saling mencurahkan isi hati kami dan saling berkeluh kesah adalah untuk membuat hubungan kami lebih indah. Jadi kami melakukannya karena keinginan, bukan kebutuhan. Sekali lagi karena keinginan bukan kebutuhan. Kami yakin dengan cara seperti itu hubungan kami akan lebih serasi, seperti tangan kanan dan tangan kiri yang saling mengisi.

^_^

Mbok Mariyem tidak menuturkan ceritanya dengan runtut dan jelas seperti tulisan di atas, tetapi dengan bahasa yang berputar-putar (karena keterbatasan kosa kata dan tidak mengenal istilah-istilah singkat seperti ketergantungan dan stabilitas emosi), banyak kiasan (misalnya dia tidak berani bicara terang-terangan mengaku bahwa sewaktu mudanya dia sangat cantik) & tidak kronologis, namun sangat terbuka dalam menceritakan isi hatinya tanpa ditutup-tutupi.

nae-2007
inspired by
Walter L. William, Javanese Lives: Women and Men in Modern Indonesia Society

gambar:
http://www.cs.pitt.edu

My Comment: Cinta memang sesuatu yang subjektif. Ia bukan satu keperluan tetapi sebuah pengisian. Tetapi malang sekali ramai di antara kita gagal membezakan antara CINTA dan NAFSU.

No comments: